Senin, 03 Januari 2011

MENCARI SOSOK PEMIMPIN SEORANG NEGARAWAN



Munculnya wacana pemimpin muda sebenarnya merupakan realitas kefrustasian sebuah generasi yang telah gagal dalam menentukan sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan ke arah lebih baik bagi negeri ini.Jika kita hitung, sejak reformasi 1998 hingga sekarang, kita sudah mengalami pergantian kepemimpinan nasional sebanyak empat kali dan empat orang pemimpin.
Jika kita menggunakan standar perubahan dengan ukuran ideal yakni lima tahun, maka saat ini sudah melebihi batas itu karena hitungan mulai reformasi 1998 sampai sekarang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun. Tetapi bukanya perubahan kearah positif yang terlihat, melainkan justru sebaliknya malah mengalami kemunduran di sana sini. Bahkan mungkin sampai saat ini kita belum mengetahui apa sebenarnya penyakit di negeri ini yang membuat kekebalan tubuh negara bangsa ini terus melemah.
Apakah kita (anak bangsa) mampu jujur dalam hal ini untuk mengatakan bahwa kita semua turut andil dalam kesalahan ini? Disadari atau tidak kita sadari, kita semua adalah bagian dari estafet kegagalan itu karena bola kepemimpinan itu saat ini sudah diserahkan sepenuhnya kepada rakyat melalui pemilihan langsung.
Artinya kedaulatan untuk menentukan seorang pemimpin yang memeliki criteria seperti yang kita kehendaki itu sudah itu berada di tangan kita. Tinggal kembali lagi, apakah kita mampu untuk peka melihat dan menentukan sosok calon pemimpin itu, apakah kita sanggup untuk berfikir visioner (jangka panjang) bahwa kehidupan ini bukan hanya milik kita melainkan jangka panjangnya sampai ke anak cucuk kita?
Mereka para pemimpin tidak pernah mengakui itu yang ada mereka saling tuduh, dan saling tuding dan lempar tanggung jawab. Pemimpin yang satu berkata masalah itu waarisan pemerintahan masa lalu, pemimpin lainya berkata itu kebijakan pemerintah terdahulu, lalu rakyat menjadi bingung karena memilih pemimpin yang hanya pandai melempar kesalahan dan tanggung jawab. Jika seperti ini, apa artinya ada pemilihan presiden dan apa artinya ada presiden di negara ini. Yang rakyat pahami, presiden itu mereka pilh untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini, bukan untuk berkeluh kesah dan saling caci.
Sebenarnya persoalan tua dan muda itu bukan hal yang paling substansial dalam hal menentukan sosok kepemimpinan nasional. Bangsa ini hanya sedang bingung karena tidak mampu menentukan arah mau kemana dibawa republik ini. Sehingga mereka mencoba mencari pembenaran dengan mempermasalahkan soal usia. Dalam siklus kehidupan ini, hukum alam selalu berlaku dan eksis sepanjang masa bahwa yang tua akan mati dan digantikan oleh yang muda, dan yang muda akan menjadi tua dan lalu mati dan digantikan lagi dengan yang muda, begitu seterusnya.
Dikotomi tua dan muda hanya akan memunculkan permusuhan dan pertentangan yang ujung-ujungnya hanya akan berputar-putar pada pasal-pasal hak asasi manusia. Itu hanya akan terus semakin menjauh dari visi dalam menentukan sosok pemimpin nasional yang tidak menyentuh akar permasalahan di Repubik ini.
Jika saja kita peka serta mau belajar dari sejarah peradaban masyarakat terdahulu yang mengedepankan kejujuran dan kesetiaan terhadap seluruh wilayah dan masyarakatnya, maka sosok pemimpin itu pasti tidak jauh dari kita, mereka ada disekitar kita. Kepemimpinan tidak pernah lepas dari campur tangan tuhan, terbukti dalam sebuah kelompok makluk apapun itu bail manusia ataupun binatang sekalipun pasti diantaranya ada salah satu yang terposisikan sebagai pemimpin. Dimasyarakat adat dahulu, seorang pemimpin adat malah jarang yan berusia muda, umumnya mereka sudah berumur tua. Tetapi ia memiliki kemampuan untuk meminpin, dan berbuat bijaksana terhadap masyarakat yang dipimpinya.
Mengenai parameter kepemimpinan ini sebenarnya sudah terwariskan sejak dahulu kala dari nenek moyang kita. Bukti konkrit nya adalah keberhasilan bangsa ini dalam ekspansi budaya di berbagai belahan dunia. Untuk kategori parameter masyarakat modern kita dapat pelajari ajaran budaya memimpin dan pemimpin yang di wariskan oleh Ki Hajar Dewantroro, dengan tiga semboyannya yaitu, ing ngarso sun tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Menurut Ki Hajar bahwa seorang pemimpin harus mampu menjadi contoh bagi masyarakat yang dipimpinnya, dan harus dapat memberi semangat, serta dorongan untuk maju kepada rakyatnya.
Sudah pada hakikatnya setiap masyarakat untuk dipandu oleh orang-orang terpilih untuk mengarahkan bentuk serta arah gerak sebuah kelompok, masyarakat dan negara. Karena sudah dari sononya pula, manusia yang berkumpul dalam jumlah banyak memiliki kecenderungan untuk kesulitan membuat konsesus untuk bergerak bersama. Ya seperti kata orang “kalau ada 10 orang dalam satu ruangan, maka akan ada 456 solusi”. Dari kondisi seperti ini lah para pemimpin muncul. Para pemimpin yang mengawal pergerakan sebuah kelompok dan mengarahkan tujuan sekumpulan manusia yang tidak tahu harus kemana. Secara naluriah atau mekanistis, para pemimpin muncul untuk membuka jalan sebuah kelompok menuju tujuan bersama yang disepakati.
Dalam era demokrasi, para pemimpin masyarakat dan negara dipilih melalui sebuah proses pemungutan suara yang panjang dan (terkadang) membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Bahkan dalam negara yang masih dalam era demokrasi transisi, biaya politik bisa menjadi sangat besar melebihi biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Tapi hal ini sah-sah saja tentunya, dengan asumsi bahwa dengan melalui proses yang panjang ini maka akan terpilih wakil dan pemimpin yang mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk. Hipotesis yang aneh? Tapi kita di sini tidak untuk berputar di topik ini.
proses demokratisasi yang terjadi pasca jatuhnya orde baru, membawa Indonesia menuju sebuah konstelasi dan dinamika politik baru. Dimana bermunculan pemain-pemain politik baru dan kebebasan berekspresi yang semakin luas, yang membawa angin segar bagi kehidupan berpolitik dan bernegara di Indonesia. Paska disahkannya UU Pemerintah daerah dan UU Pemilu di tahun 2004, dimana kepala daerah dipilih secara langsung, hawa kebatinan politik Indonesia pun memasuki sebuah era baru. Masyarakat diberi kesempatan untuk ikut menentukan nasib para politisi yang memperebutkan kursi eksekutif di tingkat nasional dan lokal. Panggung politik dan ruang publik yang selama ini merupakan konsumsi para politisi, dimasuki oleh masyarakat sebagai decision voter.
Teorinya para pemimpin yang dipilih merupakan para pemain yang telah diseleksi oleh masyarakat luas untuk kemudian disaring dan ditentukan siapa yang layak atau tidak layak, siapa yang korup dan tidak korup, siapa yang pro rakyat dan pro kelompok. Idealnya itu yang terjadi dalam sistem yang dirancang setelah melalui proses panjang perenungan akademis dan perjalanan sejarah yang berliku. Kalau kata temen saya yang lain mah “namanya juga sistem buatan manusia, mana ada sih yang sempurna”. Sistem demokrasi di pilih sejatinya bukan karena itu sistem yang paling sempurna, akan tetapi merupakan sistem yang paling diterima oleh dunia internasional dan masyarakat. Tetapi, prasyarat ideal yang harus dipenuhi seharusnya terdiri dari dua komponen 1) masyarakat yang cerdas secara politik, dan 2) pemimpin yang negarawan.
Apa yang kemudian terjadi di Indonesia saat ini, saya kesulitan utuk menentukan apakah ini merupakan realita dan konsekuensi dari dinamika politik yang terjadi ataukah bentuk egoisme kelompok yang buta. Karena sepertinya apa yang terjadi,tidak lebih dari sekedar bagi-bagi kekuasaan saja.
Menteri yang gagal dalam menjamin keselamatan penumpang transportasi, tenang-tenang saja meneruskan jabatannya. Menteri yang gak pernah ngantor dan ngurusin partainya,membiarkan daerah tertinggal tetap tertinggal. Ada lagi isu menteri yang bagi-bagi beras murah dengan pesan sponsor dari partainya. Ada menteri yang ngurusin orang miskin, tapi enggan untuk melihat orang miskin secara utuh. Katanya mereka professional., tapi apa? Kalo mereka benar-benar professional, lalu mengapa kegagalan ini terus terjadi. Kenapa angka pengangguran kita masih diatas 10 juta,kenapa angka kemiskinan masih berkisar 45 juta KK, kenapa masih sering pesawat jatuh, kenapa harga beras semakin membumbung
Desakan reshuffle yang datang dari partai-partai politik pun kental nuansa ingin menempatkan kadernya untuk duduk di kursi menteri. Atau resuffle yang hanya ditujukan untuk membebaskan kadernya dari berbagai pertanggungjawaban profesionalisme. Ketika sector transportasi mengalami kekacauan, mungkin karena kelemahan si menteri tiba-tiba Partai politik mendorong reshuffle dengan tujuan memindahkan kadernya dari posisi yang beresiko itu.
Kita butuh seorang negarawan untuk memimpin republik ini, dimana memikirkan kepentingan bangsa dan Negara dan bukan kepentingan sesaat. Paradigma bernegara seharusnya menjadi semangat dalam berpolitik.
Menjadi pejabat publik bukanlah masalah kapling mengkapling kekuasaan atau dalam istilah populernya bagi-bagi kursi seperti pemandangan yang selama ini kita saksikan di pentas politik nasional, baik di eksekutif maupun legislative.
Apakah ini sebuah kesalahan kapasitas dan paradigma para pemimpin yang belum mengedepankan kepentingan rakyat. Ataukah ini sebuah kesalahan system yang dipilih untuk melakukan pemilihan pemimpin.
Apapun itu, Para pemimpin harus benar-benar melihat kondisi masyarakat. Mereka adalah sosok yang memiliki keunggulan dalam segala hal dibanding masyarakat pada umumnya (primus interpares). apakah tepat mendeklarasikan diri untuk maju dalam pencalonan presiden melalui iklan di media seperti layaknya sebuah perusahaan menjual produknya.
01 Agustus 2008
Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar